“PENGANTAR SISTEM POLITIK: MENGAPA SISTEM POLITIK
INDONESIA SELALU BERUBAH? ”
Arti
kata politik selama ini belum memiliki definisi yang seragam. Walaupun
ilmu politik masih bergulat dalam menciptakan konsep tunggal tentang politik,
hal ini bukan berarti kita perlu menyesalinya. Bahkan kita patut bersyukur bila
mengingat kembali akan hakekat keberadaan ilmu sosial dan humanis merupakan
pembuktian bahwa tidak ada satupun kebenaran mutlak dalam menjawab suatu
masalah. Kebenaran mutlak yang selalu diagung-agungkan ilmu sains murni seperti
ilmu biologi, fisika, dan lainnya.
Artinya,
sangatlah wajar bila kita berbicara politik dengan melibatkan berbagai definisi
berdasarkan sudut pandang kita tentang politik, misalnya melalui tinjauan
konflik, perdamaian, kontrol, kekuasaan, atau lainnya. Pada akhirnya
sudut pandang yang paling memungkinkan, meliputi segala definisi tentang
politik akan membutuhkan pendekatan menyeluruh dengan menggabungkan keseluruhan
tinjauan tersebut. Munculnya pendekatan sistem merupakan upaya paling
komprehensif dalam melibatkan berbagai definisi politik yang ada secara
interaktif.
Sementara
itu, pendekatan sistem berusaha menimbulkan pemahaman terhadap politik bukan
hanya dari perspektif kelembagaan atau institusi yang ada saja. Akan
tetapi, sistem politik selalu bergerak dinamis, melibatkan fungsi dan
lingkungan internal dan eksternal. Akibatnya, sistem politik di suatu
negara akan bersinggungan dengan sistem politik di negara lain, begitu pula
sebaliknya.
Indonesia
merupakan bagian dari sistem politik dunia, dimana sistem politik Indonesia
akan berpengaruh pada sistem politik negara tetangga maupun dalam cakupan lebih
luas. Struktur kelembagaan atau institusi khas Indonesia akan terus
berinteraksi secara dinamis, saling mempengaruhi, sehingga melahirkan sistem
politik hanya dimiliki oleh Indonesia. Namun demikian, kekhasan
sistem politik Indonesia belum dapat dikatakan unggul bila kemampuan positif
struktur dan fungsinya belum diperhitungkan sistem politik negara lain.
Salah
satu syarat penting dalam memahami bagaimana sistem politik Indonesia adalah
melalui pengembangan wawasan dengan melibatkan institusi-institusi nasional dan
internasional. Artinya lingkungan internal dan eksternal sebagai batasan
atau boundaries dari suatu sistem politik Indonesia harus dipahami terlebih
dahulu.
Lingkungan
internal akan sangat dipengaruhi oleh budaya politik bangsa Indonesia. Sedangkan
budaya politik sendiri merupakan wujud sintesa peristiwa-peristiwa sejarah yang
telah mengkristal dalam kehidupan masyarakat, diwariskan turun temurun berupa
tatanan nilai dan norma perilaku. Sementara itu, lingkungan
eksternal sedikit banyak mempengaruhi lingkungan internal ketika transformasi
budaya berlangsung akibat peristiwa sejarah semisal penjajahan kolonial maupun
bentuk “penjajahan” budaya pop (pop culture) di era globalisasi.
Mempelajari
sistem politik suatu negara tidak dapat dan tidak pernah berdiri sendiri dari
sistem politik negara lain, setidaknya itulah maksud implisit yang diutarakan
David Easton melalui pendekatan analisa sistem terhadap sistem politik.
Sampai kemudian, Gabriel Almond meneruskannya ke dalam turunan teori sistem
politik yang lebih konkrit, yaitu menggabungkan teori sistem ke dalam
struktural-fungsional, barulah kita mendapatkan pemahaman bagaimana sistem
politik seperti di Indonesia berinteraksi dengan sistem politik lainnya.
Akhirnya,
mengingat sebegitu luas pembicaraan mengenai sistem politik, maka layaknya
suatu sistem, saya akan ciptakan terlebih dahulu batasan-batasannya, yaitu
mengenalkan kedua pendekatan terhadap sistem politik baru kemudian menganalisis
sistem politik Indonesia. Oleh karena itu subbab pertama membahas pendekatan
sistem politik dari teori behavioral. Subbab kedua melanjutkan bahasan
pendekatan sistem politik dari sudut teori struktural-fungsional, dan subbab
terakhir akan memfokuskan pada arti penting sejarah dalam mempelajari sistem
politik Indonesia.
Pendekatan
Teori Behavioral Sistem Politik
Adalah
David Easton (1953), seorang ilmuwanpolitik dari Harvard University,
memperkenalkan pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik dalam memahami
politik. Di kalangan ilmuwanpolitik yang menganut tradisi pluralis, teori
Easton yang bersifat abstrak berpengaruh sampai akhir tahun 1960-an (lihat
Harold Laswell dan Robert Dahl). Kaum pluralis mengingkari
berbicara dengan konteks spesifik. Sedangkan ilmuwanpolitik kontemporer berkeinginan
untuk menciptakan teori umum dengan melihat masalah lebih konstekstual.
Sebagai
pendukung setia aliran behavioralisme, Easton berusaha keras mengantarkan
politik menjadi ilmu setara dengan ilmu alam dengan mengembalikannya ke dalam
kaidah-kaidah saintifik seperti generalisasi, abstrak, validitas, dan
sebagainya untuk mengukur tingkah laku politik seseorang. Hasrat kuat untuk
memunculkan politik sebagai ilmu pengetahuan (science) ditempuh dengan cara
menciptakan model abstrak, mempolakan rutinitas dan proses politik secara
umum. Model seperti ini menurut Easton, memiliki tingkat abstraksi
saintifik sangat tinggi, sehingga generalisasi politik sebagai ilmu akan
tercapai. Menurut Easton, politik harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya
berdasarkan kumpulan dari beberapa masalah yang harus dipecahkan.
Easton
menganggap politik sebagai organisme, memperlakukannya sebagai mahluk hidup.
Teori Easton berisi pernyataan tentang apa yang membuat sistem politik
beradaptasi, bertahan dan bereproduksi, dan terutama, berubah. Easton
menggambarkan politik dalam keadaan selalu bergejolak, menolak ide
“equilibrium,” yang mempengaruhi teori politik masa kini (lihat teori
institusionalisme). Lebih jauh, Easton menolak ide bahwa politik dapat
dipelajari dengan melihat berbagai tingkatan analisis. Oleh karena itu,
abstraksi Easton dapat diterapkan untuk kelompok apapun pada waktu kapanpun.
Hasil
karya pemikiran Easton mengenai model sistem politik dapat ditemukan di tiga
volume buku yaitu: “The Political System” (1964); “A Framework for Political
Analysis” (1965); dan yang paling penting adalah “A Systems Analysis of
Political Life” (1979).
Fokus
perhatian Easton bersumber pada pertanyaan mengenai bagaimana mengelola sistem
politik agar tetap utuh dalam situasi dunia yang penuh gejolak dan rentan pada
perubahan. Dalam menjawab pertanyaan ini, Easton meyakini akan pentingnya
melakukan penelitian akan bagaimana sistem politik berinteraksi dengan
lingkungannya, baik di dalam maupun di luar lingkup masyarakat.,
Secara
sederhana Easton mengungkapkan bahwa memahami sistem politik sama seperti
halnya memahami sistem lain seperti ekonomi, yang kesemuanya merupakan
subsistem dari sistem yang lebih besar. Namun demikian, sistem politik
menurut pandangan Easton bersifat khusus, karena memiliki kekuatan membuat
keputusan yang mengikat semua anggota dalam sistem.
Perbedaan
satu sistem politik dengan sistem politik lainnya dapat dipisahkan melalui tiga
dimensi: polity, politik, dan policy (kebijakan). Polity diambil dari dimensi
formal politik, yaitu, struktur dari norma, bagaimana prosedur mengatur
institusi mana yang semestinya ada dalam politik. Politik dari dimensi
prosedural lebih mengarah pada proses membuat keputusan, mengatasi konflik, dan
mewujudkan tujuan dan kepentingan. Dimensi ini melingkupi beberapa isu klasik
yang berkaitan dengan ilmu politik, seperti siapa yang dapat memaksakan
kepentingannya? mekanisme seperti apa yang berlangsung dalam menangani konflik?
dsbnya. Dan terakhir adalah policy sebagai dimensi politik, melihat substansi
dan cara pemecahan masalah berikut pemenuhan tugas yang dicapai melalui sistem
administratif, menghasilkan keputusan yang mengikat bagi semua. Easton
berpendapat bahwa definisi politik dari ketiga dimensi ini terbukti lebih
efektif, terutama untuk memahami realitas politik dalam upaya memberikan
pendidikan politik.
Fokus
pendekatan sistem berawal pada adanya tuntutan, harapan, dan dukungan, sebagai
prasyarat sebelum memasuki proses konversi dalam sistem politik.
Setelah melalui proses konversi barulah keluar keputusan mengikat seluruh
anggota masyarakat dalam bentuk hukum ataupun perundangan. Hukum dan
perundangan tersebut, pada gilirannya, akan menciptakan reaksi berupa opini
dalam masyarakat, menghasilkan masukan baru, dan kembali menciptakan tuntutan
dan atau dukungan baru.
Easton
memandang sistem politik sebagai tahapan pembuatan keputusan yang memiliki
batasan (misal, semua sistem politik mempunyai batas yang jelas) dan sangat
luwes (berubah sesuai kebutuhan). Model sistem politik terdiri dari fungsi
input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi pengolahan (conversion); dan fungsi
output sebagai hasil dari proses sistem politik, lebih jelasnya seperti berikut
ini:
Tahap
1: di dalam sistem politik akan terdapat “tuntutan” untuk “output” tertentu
(misal: kebijakan), dan adanya orang atau kelompok mendukung tuntutan tersebut.
Tahap 2: Tuntutan-tuntutan dan kelompok akan berkompetisi (“diproses dalam sistem”), memberikan jalan untuk pengambilan keputusan itu sendiri.
Tahap 3: Setiap keputusan yang dibuat (misal: kebijakan tertentu), akan berinteraksi dengan lingkungannya.
Tahap 4: ketika kebijakan baru berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan tuntutan baru dan kelompok dalam mendukung atau menolak kebijakan tersebut (“feedback”).
Tahap 5, kembali ke tahap 1.
Tahap 2: Tuntutan-tuntutan dan kelompok akan berkompetisi (“diproses dalam sistem”), memberikan jalan untuk pengambilan keputusan itu sendiri.
Tahap 3: Setiap keputusan yang dibuat (misal: kebijakan tertentu), akan berinteraksi dengan lingkungannya.
Tahap 4: ketika kebijakan baru berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan tuntutan baru dan kelompok dalam mendukung atau menolak kebijakan tersebut (“feedback”).
Tahap 5, kembali ke tahap 1.
Apabila
sistem berfungsi seperti tahapan yang digambarkan, kita akan mendapatkan
“sistem politik stabil.” Sedangkan apabila sistem tidak berjalan sesuai
tahapan, maka kita akan mendapatkan “sistem politik disfungsional.” Easton
menetapkan batasan lingkungan pada sistem politik dimana input dan output
senantiasa berada dalam keadaan tetap, seperti tergambar dalam ilustrasi di
bawah ini.
Ilustrasi
1. Model Analisa Sistem Politik Easton
Keuntungan
metode ini terdapat pada keistimewaannya menggabungkan berbagai aspek dan
elemen politik ke dalam teori analisa sistem. Proses penggabungan akan
membuka peluang untuk melembagakan aneka realitas politik yang rumit dan
kemudian mensistemasikannya dalam sistem, tanpa melupakan politik yang sifatnya
multidimensi.
Namun demikian, teori Easton memiliki beberapa kelemahan, antara lain karena: (1) sifatnya yang mutlak; (2) teori menjunjung tinggi kestabilan, kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat hancur atau konflik; (3) teori menolak setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem. Dengan kata lain, pendangan Easton menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat diisolasi dari yang lainnya (lihat otonomi, kedaulatan); (4) teori ini mengingkari keberadaan suatu negara; (5) teori bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem yang timbul akibat variasi. (lihat autoriarianianisme).
Namun demikian, teori Easton memiliki beberapa kelemahan, antara lain karena: (1) sifatnya yang mutlak; (2) teori menjunjung tinggi kestabilan, kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat hancur atau konflik; (3) teori menolak setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem. Dengan kata lain, pendangan Easton menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat diisolasi dari yang lainnya (lihat otonomi, kedaulatan); (4) teori ini mengingkari keberadaan suatu negara; (5) teori bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem yang timbul akibat variasi. (lihat autoriarianianisme).
Berangkat
dari kelemahan tersebut, lahirlah kemudian turunan teori sistem politik Almond
dengan pendekatan struktural-fungsional, meninjau sistem politik suatu negara
dari struktur dan fungsi institusi yang ada sebagai suatu bagian integral dari
sistem politik dunia. Dalam hal ini sistem politik tidak memungkiri
adanya pengaruh sistem politik dunia yang dominan seperti halnya negara-negara
adidaya, contoh: Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia satu-satunya pasca
kejatuhan Uni Soviet di tahun 1991.
Oleh
karena itu, pendekatan struktural-fungsional sistem politik akan melengkapi
pemahaman terhadap sistem politik yang sudah terlebih dulu dirumuskan oleh
Easton.
Pendekatan
Teori Struktural-Fungsional Sistem Politik
Di
tahun 1970-an, ilmuwanpolitik Gabriel Almond dan Bingham Powell memperkenalkan
pendekatan struktural-fungsional untuk membandingkan sistem politik
(comparative politics). Mereka berargumen bahwa memahami suatu sistem
politik, tidak hanya melalui institusinya (atau struktur) saja, melainkan
juga fungsi mereka masing-masing. Keduanya juga menekankan bahwa
institusi-institusi tersebut harus ditempatkan ke dalam konteks historis yang
bermakna dan bergerak dinamis, agar pemahaman dapat lebih jelas. Ide ini
berseberangan dengan pendekatan yang muncul dalam lingkup perbandingan politik
seperti: teori negara-masyarakat dan teori dependensi.
Almond
(1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki bagian yang dapat
digerakan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan batas tertentu.
Sedangkan sistem politik merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang
berkecimpung dalam merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat
ataupun kelompok di dalamnya. Pemerintah atau negara merupakan bagian
dari pembuat kebijakan dalam sistem politik.
Seperti
telah disampaikan sebelumnya, teori ini merupakan turunan dari teori sistem
Easton dalam konteks hubungan internasional. Artinya pendekatan
struktural-fungsional merupakan suatu pandangan mekanis yang melihat seluruh
sistem politik sama pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum “stimulus dan
respon” yang sama—atau input dan output. Pandangan ini juga memberikan
perhatian cukup terhadap karakteristik unik dari sistem itu sendiri.
Pendekatan
struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa komponen kunci, termasuk
kelompok kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi,
dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh negara di jaman moderen ini
memiliki keenam macam struktur politik tersebut. Selain struktur, Almond
memperlihatkan bahwa sistem politik terdiri dari berbagai fungsi, seperti
sosialisasi politik, rekrutmen, dan komunikasi.
Sosialisasi
politik merujuk pada bagaimana suatu masyarakat mewariskan nilai dan
kepercayaan untuk generasi selanjutnya, biasanya melibatkan keluarga, sekolah,
media, perkumpulan religius, dan aneka macam struktur politik yang membangun,
menegakan, dan mentransform pentingnya perilaku politik dalam masyarakat. Dalam
terminologi politik, sosialisasi politik merupakan proses, dimana masyarakat
menanamkan nilai-nilai kebajikan bermasyarakat, atau prinsip kebiasaan menjadi
warga negara yang efektif. Rekrutmen mewakili proses dimana sistem politik
menghasilkan kepentingan, pertemuan, dan partisipasi dari warga negara, untuk
memilih atau menunjuk orang untuk melakukan aktifitas politik dan duduk dalam
kantor pemerintahan. Dan komunikasi mengacu pada bagaimana suatu sistem menyampaikan
nilai-nilai dan informasi melalui berbagai struktur yang menyusun sistem
politik.
Dalam
sistem politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital, mulai dari membangun
dan mengoperasikan sistem pendidikan, menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat, sampai terjun dalam peperangan. Untuk melaksanakan tugas
tersebut, pemerintah memiliki lembaga-lembaga khusus yang disebut struktur,
seperti parlemen, birokrasi, lembaga administratif, dan pengadilan, yang
melakukan fungsi khusus pula, sehingga pemerintah dapat dengan leluasa
merumuskan, melaksanakan, dan menegakan kebijakan.
Agar
lebih jelas, sistem politik Almond dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini.
Ilustrasi
2. Pendekatan Struktural Fungsional Sistem Politik Almond
Pengetahuan
mengenai keenam macam struktur politik tersebut belum dapat menerangkan sistem
politik apapun, selain memperlakukannya sebagai entitas yang berdiri sendiri,
namun belum mencapai tahap interaksi. Untuk itu, lingkungan perlu
tercipta lebih dahulu sebagai konteks memahami keberadaan struktur politik,
misalnya negara Indonesia seperti ilustrasi berikut ini.
Sumber:
Almond, Strom (1999)
Ilustrasi
3. Struktur dalam Sistem Politik Indonesia
Interaksi
tiap bagian dalam struktur akan memunculkan kekhasan corak dan perilaku dalam
menyikapi lingkungannya, yang disebut fungsi. Tidak ada dua negara
identik dalam menjalankan fungsi tiap struktur, seperti halnya Amerika Serikat
dan Cina memiliki parlemen, namun cara kerja parlemen mereka amatlah
berlainan. Agar lebih jelas, interaksi antar berbagai fungsi dalam
struktur kelembagaan di dalam sistem politik Indonesia dengan sistem politik
negara lain dapat disimak pada ilustrasi berikut:
Ilustrasi
4. Fungsi dalam Sistem Politik Indonesia (Sumber: Almond, Strom (1999)
Struktur
harus dikaitkan dengan fungsi, sehingga kita dapat memahami bagaimana fungsi
berproses dalam menghasilkan kebijakan dan kinerja. Fungsi proses terdiri
dari urutan aktifitas yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan dan
implementasinya dalam tiap sistem politik, antara lain: artikulasi kepentingan,
agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, dan implementasi dan penegakan
kebijakan. Proses fungsi perlu dipelajari karena mereka memainkan peranan
dalam mengarahkan pembuatan kebijakan. Sebelum kebijakan dirumuskan,
beberapa individu ataupun kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus
memutuskan apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari politik. Proses politik
dimulai ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau diartikulasikan.
Agar
bekerja efektif, proses harus memadukan tuntutan (agregasi) ke dalam alternatif
pilihan, seperti pajak lebih tinggi atau rendah atau jaminan sosial lebih
tinggi atau kurang, dimana dukungan politik dapat dimobilisasi.
Alternatif pilihan kebijakan kemudian disertakan. Siapapun yang mengawasi pemerintahan
akan mendukung salah satu, baru kemudian pembuatan kebijakan mendapatkan
legitimasi. Kebijakan harus ditegakkan dan diimplementasikan, dan apabila ada
yang mempertanyakan ataupun melanggar harus melalui proses pengadilan.
Namun demikian, Almond menyadari bahwa pendekatan struktural-fungsional dalam memahami sistem masih banyak kekurangan. Almond kemudian mencontohkan hasil penelitian Theda Scokpol, mengenai studi sistem politik mencari penyebab terjadinya revolusi dengan mengamati perubahan politik di berbagai negara melalui perbandingan lembaga-lembaga yang ada pada periode historis ataupun rejim pemerintahan yang berbeda, sebagai alternatif, disamping pendekatan dynamic developmental atau pendekatan dinamika pembangunan sebagai pelengkap pendekatan struktural fungsional dalam memahami sistem politik.
Namun demikian, Almond menyadari bahwa pendekatan struktural-fungsional dalam memahami sistem masih banyak kekurangan. Almond kemudian mencontohkan hasil penelitian Theda Scokpol, mengenai studi sistem politik mencari penyebab terjadinya revolusi dengan mengamati perubahan politik di berbagai negara melalui perbandingan lembaga-lembaga yang ada pada periode historis ataupun rejim pemerintahan yang berbeda, sebagai alternatif, disamping pendekatan dynamic developmental atau pendekatan dinamika pembangunan sebagai pelengkap pendekatan struktural fungsional dalam memahami sistem politik.
Namun
demikian, pendekatan struktural-fungsional ternyata belum cukup lengkap dalam
menjelaskan fenomena perubahan politik yang ada. Faktor budaya politik
(political culture) sebagai bagian penting dari sistem politik yang sangat
berkaitan erat dengan sejarah perjalanan suatu bangsa. Terpisah dari
siapa yang memaknai dan mendominasi bahasa sejarah, tetap nilai-nilai historis
akan berperan penting sebagai pertanda lahirnya suatu peradaban ataupun budaya
masyarakat tertentu.
Oleh
karena itu penggabungan antara pendekatan analisa sistem, pendekatan
struktural-fungsional dengan sejarah akan melengkapi pemahaman kita akan sistem
politik Indonesia yang sedang dipelajari. Sehingga struktur dan fungsi terkandung
dalam sistem politik sekarang: partai politik; kelompok kepentingan; lembaga
eksekutif, lembaga legislatif; jajaran birokrasi; dan lembaga pengadilan dapat
kita prediksi kecenderungannya di masa mendatang.
Peran
Penting Sejarah dalam Sistem Politik Indonesia
Peran
penting sejarah dalam memahami sistem politik sangat berkaitan dengan faktor
lingkungan. Perubahan lingkungan sebagai batas ruang lingkup sistem politik
merupakan hasil bentukan budaya yang terdapat di dalam maupun di luar sistem.
Budaya
sendiri merupakan peristiwa sejarah yang menggambarkan pola perilaku, cita
rasa, yang dirasakan, ditanamkan, diwariskan, dari generasi satu ke generasi
lainnya. Dengan demikian sangatlah naif apabila kita menganalisa sistem
politik sekarang tanpa paham akar sejarahnya. Karena yang akan kita
dapatkan hanyalah analisa sempit yang tidak dapat memberikan sumbangsih bagi
kepentingan perbaikan sistem politik di masa depan.
Pendekatan
historical institutionalism analysis yang dikemukakan oleh Paul Pierson dan Theda
Scockpol (2000), ilmuwan politik dari Harvard University, merupakan alternatif
pendekatan teori politik behavioralisme dan rasionalisme yang sangat
mengutamakan metodologi empirik dalam mengamati perubahan pada pemerintahan,
politik, dan kebijakan publik. Menurut Scockpol, ciri dari pendekatan
historical institutionalisme terletak pada upaya mencari jawaban terhadap
pertanyaan besar dan substantif yang biasanya menjadi perhatian publik maupun
para ilmuwan politik.
Sebagai
contoh, behavioralis terkadang luput mengamati bahwa keseragaman pola tingkah
laku individu dalam berpartisipasi secara sukarela dalam suatu organisasi atau
mencoblos dalam pemilihan umum, dapat berbeda maknanya tergantung dari
organisasi atau institusi apa yang dipilih pada satu negara ataupun periode
tertentu. Sedangkan pakar rationalis berpandangan bahwa model yang mereka
dukung sangatlah umum, bahkan ketika mereka berbicara tentang berbagai jenis
institusi yang sangat berbeda.
Berbeda
dengan dua pendekatan sebelumnya, historical institusional memandang penting
penting artinya waktu, mengkhusukan pada alur berpikir dan melacak
transformasi dan proses dari berbagai ukuran dan waktu. Pendekatan ini
mengalanisis konteks dan hipotesis makro tentang perpaduan dampak dari
institusi dan proses daripada hanya mempelajari satu institusi pada satu
periode waktu saja dalam rangka memahami pemerintahan, politik, dan kebijakan
publik. Oleh karena itu, pendekatan historical institusional tidak ragu
untuk menggali sejarah sebagai pelengkap pendekatan yang fokus pada analisis
data dalam periode waktu singkat.
Pentingnya
sejarah juga diakui oleh para Indonesianis (ahli Indonesia) seperti Herbert
Feith, dalam mempelajari sistem politik Indonesia. Dalam mengaplikasikan
sejarah dalam sistem politik Indonesia, Feith menggunakan teori sistem
struktural-fungsional dengan empat pendekatan, antara lain:
masa sebelum tahun 1950-an, mempelajari Indonesia dari sudut politik dan administrasi kolonial, termasuk organisasi dan perjuangan politik kaum bumiputra,
masa pemerintahan Soekarno, tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1960-an, ahli politik Indonesia asal Amerika Serikat, J. Kahin, menawarkan konsep baru dengan berfokur pada tingkah laku politik kaum bumiputera dalam gerakan nasionalisme dan revolusi,
masa setelah tahun 1960-an, dengan tokohnya Clifford Geertz, mempelajari sifat-sifat dari tingkah laku politik anggota masyarakat yang lebih luas. Konsep Geertz mengaplikasikan pendekatan sosio-kultural terhadap budaya masyarakat jawa dan kaitannya dengan partai politik, melahirkan konsep “politik aliran,”
Feith pada akhirnya menggabungkan pendekatan Kahin dengan “mempelajari perkembangan tingkah laku politik elit Indonesia dalam kerangka sejarah, dengan analisa semi-fungsional terhadap pertanyaan pokok, mengapa lembaga-lembaga politik Barat tidak berjalan dengan baik dan akhirnya berantakan.”
Sehingga, dalam mempelajari sistem politik Indonesia masa sekarang, perlu mengetahui peranan institusi-institusi dalam masa transisi pemerintahan Indonesia. Kegagalan sistem dalam pendekatan yang menggabungkan struktural-fungsional dan sejarah, bukan merupakan tanggung jawab individu sebagai aktor penggerak suatu lembaga, akan tetapi lebih karena pola yang terus menerus diwariskan atau lebih keras, diindoktrinasikan, kepada sistem.
Pada
akhirnya, apabila sistem politik harus berubah, institusi-institusi yang ada
perlu dirumuskan kembali tingkat kepentingan dan fungsinya di masa depan dengan
memperhatikan kegagalan-kegagalan mereka di masa lalu sebagai input.
Singkat kata, input berupa desakan, tuntutan, dan dukungan lingkungan nasional
dan internasional, seyogyanya memperhatikan latar belakang sejarah mengapa
input tersebut ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar