Senin, 27 April 2015

perubahan penerimaan daerah dan peranan pendapatan asli daerah

PERAN RETRIBUSI DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah telah membawa perubahan besar terhadap Indonesia. Pembagian beberapa kewenangan pusat kepada daerah tidak hanya mempengaruhi sistem atau tata pemerintahan saja, tapi juga mempengaruhi pola pandang masyarakat terhadap pusat selama ini. Di samping itu, salah satu konsekwensi yang harus ditanggung daerah dengan adanya otonomi daerah adalah beban anggaran yang tidak sedikit. Oleh karenanya, hal terpenting dalam otonomi daerah tidak hanya desentralisasi pemerintahan, tapi juga desentralisasi fiskal. Dengan demikian pemerintah daerah dapat mengelola beberapa potensi pajak dan retribusi yang ada di daerah. Pajak dan retribusi daerah oleh UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 28 Tahun 2009 dikelompokkan dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD), yangmana 100 persen dari pendapatan tersebut dikelola oleh daerah. Dari kedua sumber tersebut, selama ini retribusi dipandang sebelah mata oleh sebagian pengambil kebijakan, padahal dibeberapa daerah justru retribusi menjadi penyumbang terbesar pendapatan daerah tersebut. Lantas sejauh mana peran retribusi daerah terseut dalam mendukung terselenggaranya otonomi daerah? Dan bagaimana regulasi yang ada dapat mendukung hal tersebut? Untuk menjawab hal tersebut, perlu dipaparkan data-data yang ada terkait penerimaan daerah dari retribusi, dan untuk melihat ruegulasi perlu dilakukan perbandingan terhadap beberapa regulasi yang ada yang berhubungan dengan retribusi daerah, khususnya regulasi ditingkat undang-undang.
Kata kunci: retribusi daerah, otonomi daerah, regulasi dan optimalisasi retribusi.

A.   Latar Belakang

Otonomi Daerah telah membawa perubahan yang cukup signifikan dalam tata pemerintahan di Indonesia. Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahaan desentralisasi. Otonomi berasal dari bahasa Yunani, yakni autos  yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undang-undang. Menurut Bagir Manan otonomi luas bisa bertolak dari prinsip “semua urusan pemerintahan pada dasarnya menjadi urusan rumah tangga daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat. Dalam negara moderen, lebih-lebih apabila dikaitkan dengan paham negara kesejahteraan, urusan pemerintahan tidak dapat dikenali jumlahnya”[1].
Penerapan otonomi daerah di Indonesia dikumandangakan semenjak awal reformasi 1998. Hal tersebut muncul ketika sidang MPR 1998 yang dituangkan dalam Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk melaksanakan ketetapan MPR tersebut, pemerintah mengesahkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daeran dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pada masa sidang MPR tahun 2000, rekomendasi kebijakan-kebijakan operasional dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah kembali mengemuka, kebijakan tersebut ditetapkan melalui ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
Desentralisasi yang berjalan efektif sejak 1 Juni 2001 tersebut memberikan dampak dan perubahan yang mendasar terhadap hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tidak hanya itu, desentralisasi tersebut juga mempengaruhi prilaku masyarakat yang sebelumnya hanya terfokus pada pusat kekuasaan. Oleh Bagir Manan desentralisasi dimaknai bukan sekedar pemencaran kewenangan (spriending van bevoegdheid) tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan (sheiding van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintah negara antara pemerintah pusat dan satuan-satuan pemerintah tingkat lebih rendah[2].
Pada masa sidang MPR tahun 2000, juga dilakukan perubahan kedua UUD 1945. Pembahasan yang paling mendasar terhadap hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah mengenai pembagian daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pemerintahan daerah, baik struktur maupun substansi. Secara struktur, Pasal 18 (lama) diganti seutuhnya. Semula hanya satu pasal menjadi tiga pasal – Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B.
Substansi pembagian daerah diatur berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten dan kota itu mempunya pemerintahan daerah, yang diatur dalam undang-undang.” Perubahan ini dimaksudnkan untuk memperjelas pembagian daerah, Pasal 18 (1) ini juga terkait dengan Pasal 25 A mengenai Wilayah Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi atau otonomi daerah tidak hanya berdampak terhadap pembagian kewenangan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah semata. Implikasi dari otonomi daerah adalah beban pengeluaran yang harus ditanggung daerah. UU No. 25 Tahun 1999 yang menjadi motor desentralisasi fiskal, yang menjadikan Pemerintah Daerah memiliki beberapa kewenangan fiskal sebagai bagian dari sumber anggaran Daerah. UU No. 25 Tahun 1999 menyebutkan sumber pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi terdiri dari: 1) Pendapatan Asli Daerah; 2) Dana Perimbangan; 3) Pinjaman Daerah; 4) dan lain-lain penerimaan yang sah. UU No. 25 Tahun 1999 pada tahun 2004 dicabut dengan UU No. 33 Tahun 2004, perubahan ini seiring dengan perubahan UU No. 22 Tahun 1999 yang digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Perubahan regulasi ini, berdampak terhadap sumber pendapatan daerah dalam rangka desentralisasi. Pasal 5 UU No. 33 Tahun 2004 sumber penerimaan daerah dibedakan menjadi dua, yaitu Pendapatan Daerah dan Pembiayaan[3].
Pendapatan Daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan. Sedangkan Pembiayaan terdiri dari sisa lebih perhitungan anggran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Dari berbagai sumber penerimaan daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pendapatan utama daerah. PAD dapat bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisah, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. PAD menjadi menarik karena PAD juga menjadi sumber penerimaan terbesar daerah, terutama bagi daerah yang memiliki potensi yang besar.
Retribusi menjadi menjadi salah satu penyumbang PAD yang cukup signifikan, bahkan berdasarkan catatan Badan Pusan Statistik tahun 2013 nilai PAD yang bersumber dari retribusi mencapai + Rp 2.3 miliar, nilai tersebut hampir mendekati niali PAD yang bersumber dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, yang mencapai + Rp. 2.8 miliar. Bahkan apabila dibandingkan dengan tahun 2012, nilai PAD yang bersumber dari kedua hal tersebut hampir sama yaitu + Rp 2.6 miliar. Bahkan jika mundur lagi, penerimaan daerah dari PAD yang berasal dari retribusi pada tahun 2008 mencapai + Rp 1.8 miliar, apabila dibandingkan dengan tahun 2013, nilai tersebut memang rendah, tapi nilai tersebut melebih pendapatan yang bersumber dari perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan yang dipisah lainnya dengan nilai + Rp 1.3 miliar.
Beranjak dari kondisi tersebut, terlihat bahwa retribusi juga memiliki peran yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan penerimaan daerah dari retribusi hampir menyamai bahkan pernah melebihi pendapatan yang berasal dari pengelolaan perusahaan milik daerah. Setidaknya apabila retribusi tersebut dikelola dengan baik, tentunya akan semakin memperbesar penerimaan daerah. Akan tetapi selama ini, justru retribusi seolah dianak tirikan oleh daerah, kita bisa lihat beberapa pengelolaan objek wisata, dan parkir kendaraan di daerah yang tidak dikelola dengan baik.

B.   Rumusan Masalah

Otonomi Daerah bukan barang gratis yang bisa dinikmati daerah begitu saja. Ada cost yang dikeluarkan untuk mempertahankan otonomi daerah tersebut. Bahkan nilainya tidak sedikit. Oleh sebab itu Pemerintah Daerah harus mengelola dengan maksimal semua potensi yang dimiliki dan menjadi kewenangan daerah itu sendiri. Karena akan mustahil suatu daerah bisa bertahan apabila hanya mengharap turunnya dana dari Pusat yang menjadi bagiannya. Untuk menjawab kebutuhan anggaran daerah tersebut, penggagas otonomi ketika itu telah membentuk regulasi terkait perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Regulasi terkait pelaksanaan pemerintah daerah juga telah menentukan mana yang menjadi tupoksi daerah dan pusat.
Akan tetapi dalam pelaksanaanya, pungutan terhadap retribusi daerah tidak selalu berjalan maksimal, hal ini tergambar dari beberapa praktek di lapangan, dimana masih ditemukan beberapa sumber retribusi daerah dikelola secara asal-asalan atau tidak profesional. Untuk melihat permasalahan tersebut, perlu dilakukan penelitian apakah berada ditataran regulasi atau implementasi. Dalam penulisan ini, difokuskan pada tataran regulasi, khususnya regulasi setingkat undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri. Terhadap regulasi yang ada dipaparkan dan dilakukan perbandingan, apakah regulasi yang ada tersebut telah menunjang pemaksimalan pungutan retribusi daerah, dibandingkan juga dengan tujuan dari otonomi daerah. Untuk memudahkan penulisan, terhadap permasalahan tersebut penulis merumuskan ke dalam dua pertanyaan sebagai acuan dalam penulisan ini, diantaranya:
  1. Bagaimana peran dan posisi retribusi daerah dalam rangka mendukung otonomi daerah?
  2. Bagaimana pengaturan retribusi daerah dari tahun 1997 hingga tahun 2009, dan uapaya optimalisasi retribusi daerah?

C.   Peran dan Posisi Retribusi Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah.

Keberadaan retribusi daerah tidak terlepas dari diterapkannya otonomi daerah dan desentralisasi. Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengembalian keputusan publik yang lebih demokratis.[4]
Dalam otonomi, hubungan kewenangan antara Pusat dan Daerah, antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara tersebut menurt Ni’matul Huda akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas.[5] Oleh Bagir Manan otonomi terbatas digolongkan kedalam beberapa kelompok, diantaranya: pertama, urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula. Kedua, apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Ketiga, sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.[6]
Sementara itu, otonomi luas menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip Ni’matul Huda menyebutkan sebagai segalahal urusan pemerintah yang meliputi urusan rumah tangga daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat. Lebih lanjut Bagir Manan menyatakan bahwa dalam negara moderen urusan pemerintahan tidak dapat dikenali jumlahnya, terlebih bagi penganut negara kesejahteraan (welfare state).[7]
Salah satu komponen desentralisasi adalah desentralisasi fiskal. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka Pemerintah Daerah harus mendapat dukungan sumber-sumber pendanaan baik yang bersumber dari PAD, bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun subsidi. Menurut Dr. Machfud Sidik, pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung oleh faktor-faktor berikut:[8]
  1. Pemerintah Pusat yang mampu melaksanakan pengawasan dan enforcement;
  2. SDM yang kuat pada Pemerintah Daerah guna menggantikan peran Pemerintah Pusat;
  3. Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggungjawab;
  4. Kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.
UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan daeraha adalah retribusi daerah. Retribusi daerah oleh UU No. 32 Tahun 2004 digolongkan dalam PAD. Dengan konsekwensi semua pendapatan (100 persen) hasi retribusi dialokasikan untuk daerah.
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan[9]. Tujuan pungutan retribusi daerah sebagaimana ditegaskan oleh konsideran UU No. 28 Tahun 2009 untuk membiayaai pelaksanaan otonomi daerah. Tujuan retribusi menurut UU No. 18 Tahun 1997 memang memiliki sedikit perbedaand dengan tujuan retribusi menurut UU No. 28 Tahun 2009, hal ini disebabkan pada tahun 1997 sistem pemerintahaan masih tersentralisasi, walaupun ketika itu sudah dikenal sebutan otonomi daerah, tapi belum ter-desentralisasi seperti saat ini.
Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan
Daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan
self supporting dalam bidang keuangan. Sehubungan dengan pentingnya
posisi keuangan iniPamudji menegaskan:[10]
“Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan
efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan… Dan keuangan inilah yang merupakansalah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuanDaerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri”.
Untuk dapat memiliki pendanaan yang memadai, daerah membutuhkan sumber perndanaan yang cukup. Daerah dalam hal ini dapat memperolehnya melalui beberapa cara, yakni: pertama, mengumpulkan dana dari pajak daerah yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat. Kedua, melakukan pinjaman dari pihak ketiga, pasar uang atau bank atau melalui Pemerintah Pusat. Ketiga, mengambil bagian dalam pendapatan pajak pusat yang dipungut daerah. Keempat, menambahkan tarif pajak pusat tertentu, misalnya pajak kekayaan atau pajak pendapatan. Kelima, bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat.
Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan beberapa sumber-sumber keuangan daerah, diataranya:
  1. Pendapatan asli Daerah (PAD) Daerah sendiri, yang terdiri dari:
  2. Pajak Daerah
  3. Retribusi Daerah
  4. Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan;
  5. Sumber PAD lainnya yang sah;
  6. Dana perimbangan, yang terdiri dari :
  7. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam
  8. Dana alokasi umum, yang dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan dalam negeri neto
  9. Dana alokasi khusus yang dialokasikan dari APBN
  10. Lain-lain pendapatan Daerah yang sah, misalnya hibah dan dana darurat.
Dari ketentuan tersebut di atas maka pendapatan Daerah dapat dibedakan  ke dalam dua jenis yaitu: pendapatan asli Daerah dan pendapatan non-asli  Daerah. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan penting bagi daerah. Retribusi secara umum diartikan sebagai “pembayaran-pembayaran kepada negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa negara”. Berdasarkan hal tersebut, dapat dicirikan retribusi daerah sebagai berikut:
  1. Retribusi dipungut oleh negara;
  2. Dalam pemungutan terdapat paksaan secara ekonomis;
  3. Adanya kontra prestasi yang secara langsung dapat ditunjuk;
  4. Retribusi dikenakan pada setiap orang/badan yang menggunakan jasa-jasa yang disiapkan negara.
Di samping itu, pungutan retribusi juga dikaitkan dengan adanya imbalan/kontraprestasi langsung yang diberikan oleh pemerintah daerah. Sederhananya, ketika seseorang membayarkan retribusi ada kontraprestasi langsung yang ia dapatkan, contohnya ketika membayar retribusi suatu objek wisata, maka orang tersebut akan langsung menikmati objek wisata tersebut. Beda halnya dengan pajak, sebagai iuran yang dapat dipaksakan tanpa harus ada kontraprestasi langsung.
Berdasarkan analisis pajak dan retribusi daerah, ternyata rasio kenaikan penerimanaan daerah dari retribusi daerah sejak otonomi daerah lebih tinggi dibanding rasio kenaikan penerimaan daerah dari pajak daerah, terutama di kabupaten kota.[11] Oleh Tjip ditegaskan bahwa hal tersebut sebagai bukti bahwa masyarakat lebih merasa rela membayar retribusi daerah dari pada pajak daerah yang manfaat/kontraprestasinya tidak dirasakan langsung.[12]
Berikut adalah perbandingan rasio kenaikan penerimaan pajak dan retribusi daerah sebagaimana dikutip oleh Tjip Ismail dalam bukunya Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia berdasarkan data Direktorat Pendapatan Daerah, Departemen Keuangan.

Sumber :

[1] Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, 2010, Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 45.
[2] Bagir Manan, Politik Hukum Ekonomi Sepanjang Peraturan Perundang-Undangan Pemerintahan Daerah, dalam Ibid., hlm. 44.
[3] Lihat Pasal 5 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004.
[4] Machfud Sidik, Format Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, http://pomphy.blogspot.com/2008/11/format-hubungan-keuangan-pusat-daerah.html, diakses pada 1 April 2014.
[5] Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 45.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Machfud Sidik, Op.cit.
[9] Lihat poin 64 Pasal 1 UU No. 28 Tahun 2009.
[10] Fungsi Retribusi Dalam Meningkatkan PAD, http://mahenraz.wordpress.com/2010/07/14/fungsi-retribusi-dalam-meningkatkan-pad/, diakses pada 30 Maret 2014
[11] Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, 2005, Jakarta: PT. Yellow Media Tama, hlm. 56.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hlm. 57
[14] Lihat poin b Konsideran UU No. 18 Tahun 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar