Rabu, 22 April 2015

Cita cita ekonomi merdeka

  1. Cita cita ideal pendiri bangsa
Dalam meraih cita-cita bersama, sebagai bangsa yang majemuk pasti   memerlukan idiologi  pemersatu yang bisa diterima oleh semua  warga negara. hal itu telah dibuktikan oleh perjalanan sejarah bangsa ini sendiri. Dahulu, di awal terbentuknya negara ini,   dalam  menyusun konstitusi, para pemimpinnya  melakukan  perdebatan panjang dan  tidak mudah  memperoleh  titik temu. Oleh karena itu, sebagai  bangsa  yang majemuk tentu  memerlukan ideologi yang mampu mempersatukan bagi  seluruh  warga negara  yang memiliki latar belakang berbeda-beda ini. Idiologi itu dirumuskan oleh pendiri bangsa dengan sebutan Pancasila dan ketika itu  ternyata  berhasil diterima  menjadi idiologi milik bersama. Sebagai idiologi, Pancasila adalah menjadi cita-cita seluruh bangsa ini. Bangsa ini bercita-cita menjadikan seluruh warganya ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab,  bersatu  dalam kesatuan Republik  Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan  perwakilan,  dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ke lima sila dari Pancasila itu seharusnya dijadikan cita-cita bagi seluruh rakyat Indonesia.
Cita-cita bangsa Indonesia sangat sederhana. Bangsa Indonesia hanya ingin mewujudkan suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita-cita bangsa Indonesia itu terdapat dalam alinea ke-2 Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945. Formulasi itu berbunyi : ” Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan Rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur tercatat juga sebuah,\ Tujuan Nasional Bangsa Indonesia Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 :
  1. Membentuk suatu pemerintahan Negara Republike Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
  2. Memajukan kesejahteraan umum / bersama
  3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
  4. Ikut berperan aktif dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kedilan sosial.
Namun pada realitanya kesejahteraan umum belum sepenuhnya di rasakan oleh masyarakat Indonesia, sebuah pendidikan juga adalah hal yang sangat vital dalam Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa namun masih banyak warga dan generasi penerus bangsa yang belum mendapatkan pendidikan dengan selayaknya , dan lalu keadilan masih belum di rasakan bagi rakyat Indonesia karena masih banyak terjadinya sebuah ketimpangan sosial di Indonesia
2. praktek ekonomi rakyat
Sistem Ekonomi Kerakyatan mengacu pada nilai-nilai Pancasila sebagai sistem nilai bangsa Indonesia yang tujuannya adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesiadengan salah satu unsur intrinsiknya adalah Ekonomi Pancasila (Mubyarto: 2002) yang nilai-nilai dasar sebagai berikut
  1. Ketuhanan, di mana “roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral”
  2. Kemanusiaan, yaitu : “kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan  kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial”.
  3. Kepentingan Nasional (Nasionalisme Ekonomi), di mana “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri”.
  4. Kepentingan Rakyat Banyak (Demokrasi ekonomi) : demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat”.
  5. Keadilan Sosial, yaitu : “keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Namun dalam perilaku ekonomi rakyat di Indonesia yang sama sekali mengabaikan moral, etika, bahkan agama. Lihat saja korupsi yang sudah membudaya dan melembaga karena tidak pernah diperhatikan secara serius, kecuali saat-saat terakhir menjelang Pemilu 2004 dengan pembentukan KPTPK. Padahal masih banyaknya kemiskinan dan Masih ada juga penggusuran orang miskin, pengabaian nasib TKI, dan ribut-ribut soal ‘pesangon’ BPPN atau DPRD di berbagai tempat. Banyak unsur kepentingan pribadi tanpa memperhatikan rakyat kecil yang entah bagaimana mereka hidup, padahal tugas Negara itu adalah mensejahterkaan rakyatnya bukannya makin menyengsarakan rakyat. Padahal sudah tertulis di dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:
“Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang.  Namun dalam realitanya tersebut belum terpenuhi pemerintah masih acuh tak acuh terhadap rakyat kecil
3. Praktek ekonomi actual (berwatak liberal individualis dan kapitalisme)
sistem ekonomi kapitalisme/neoliberalisme maupun individual sangat agressif dan destruktif. Di dalam sistem ekonomi yang pro pasar, hampir seluruh kebijakan politik selalu mengabdi kepada modal (kartel, trust, korporasi multi-nasional dan pemodal lokal), sementara sistem ekonomi kerakyatan setiap kebijakan politik selalu mengakomodir kepentingan rakyat. Pertanyaannya adalah model ekonomi seperti apa yang yang dewasa ini di anut oleh Indonesia. Hal ini akan terjawab ketika kita melihat kebijakan-kebijakan politik yang di keluarkan oleh pemerintahan kita. Kebijakan menaikkan harga BBM, yang menyebabkan hampir seluruh sendi perekomomian rakyat terimbas, seperti mahalnya harga kebutuhan pokok, kolapsnya industri-industri rakyat yang berskala kecil dan menengah akibat tidak mampu menanggung biaya produksi yang tinggi, sementara disisi lain, industri-industri besar yang mempunyai modal kuat yang didominasi oleh hampir 70% investor asing tidak mengalami dan merasakan dampak dari kenaikan harga BBM ini. Kemudian kebijakan untuk melakukan privatisasi (swastanisasi) BUMN. Kebijakan untuk menjual kepemilikan saham Badan Usaha Milik Negara kepada swasta bukan saja mengancam layanan publik yang berkualitas tetapi juga hilangnya kedaulatan ekonomi suatu negara. Ketika BUMN dimiliki oleh modal swasta, tentu saja orientasinya adalah laba yang besar dengan mengesampingkan hajat kebutuhan publik. Karena logika dari sistem ekonomi kapitalisme adalah ”dengan modal sekecil-kecilnya dan untung sebesar-besarnya”. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar, seorang pemodal swasta tidak segan-segan memangkas biaya produksi melalui PHK massal, pemotongan gaji buruh, dll dengan dalih efisiesi perusahaan. Sementara laba yang di dapat dari BUMN sepenuhnya akan mengalir ke kantong-kantong pengusaha atau pemilik saham, dan negara hanya mendapat penghasilan hanya dari pajak semata. Kebijakan yang tidak memihak rakyat juga dapat dilihat dari kebijakan di sektor pendidikan. liberalisasi pendidikan melalui pemberlakuan UU-BHP adalah contohnya. Dengan di berlakukan UU-BHP, tanggung-jawab penyelenggaraan pendidikan bagi rakyat diserahkan sepenuhya kepada pihak swasta, pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap penyediaan infrastruktur saja. Padahal seperti kita tahu, bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat adalah sepenuhnya tanggung jawab negara. Negara harus menjamin seluruh rakyat untuk memperoleh haknya akan pendidikan. Swastanisasi sektor pendidikan ini tentu saja akan berdampak terhadap mahalnya biaya pendidikan, karena dengan diserahkan sektor pendidikan untuk dikelola oleh swasta maka orientasi pendidikan untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul akan digantikan dengan semangat untuk mendulang untung yang sebanyak-banyaknya.
Jadi jika di bilang Masih relevan kah platform pancasila dengan kondisi ekonomi sosial saat ini? Menurut saya pribadi belum, karena masih  banyak permasalahan permasalahan yang di hadapi Indonesia saat ini, tetapi semoga dengan berjalannya waktu platform pancasila terutama dengan kondisi sosial ekonominya bisa berjalan dengan semestinya.

Sumber : http://www.berdikarionline.com/editorial/20130118/cita-cita-perekonomian.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar